Minggu, 18 September 2011

cerita tentang taubatnya jahdar bin Rabi’ah.

 
Pada suatu hari Ibrahim bin
Adham didatangi oleh
seorang lelaki yang gemar
melakukan maksiat. Lelaki
tersebut bernama Jahdar bin Rabi’ah. Ia meminta nasehat
kepada Ibrahim agar ia dapat
menghentikan perbuatan
maksiatnya. Ia berkata, “Ya
Aba Ishak, aku ini seorang
yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong
berikan aku cara yang ampuh
untuk menghentikannya!”
Setelah merenung sejenak,
Ibrahim berkata, “Jika kau
mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku
tidak keberatan kau berbuat
dosa.” Tentu saja dengan
penuh rasa ingin tahu yang
besar Jahdar balik bertanya,
“Apa saja syaratsyarat itu, ya Aba Ishak?” “Syarat pertama,
jika engkau melaksanakan
perbuatan maksiat, janganlah
kau memakan rezeki Allah,”
ucap Ibrahim. Jahdar
mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Lalu aku makan dari
mana? Bukankah segala
sesuatu yang berada di bumi
ini adalah rezeki Allah?”
“Benar,” jawab Ibrahim
dengan tegas. “Bila engkau telah mengetahuinya, masih
pantaskah engkau memakan
rezeki-Nya, sementara Kau
terus-menerus melakukan
maksiat dan melanggar
perintah-perintahnya?” “Baiklah,” jawab Jahdar
tampak menyerah.
“Kemudian apa syarat yang
kedua?” “Kalau kau
bermaksiat kepada Allah,
janganlah kau tinggal di bumi- Nya,” kata Ibrahim lebih tegas
lagi. Syarat kedua membuat
Jahdar lebih kaget lagi. “Apa?
Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu
aku harus tinggal di mana?
Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?” “Benar
wahai hamba Allah. Karena
itu, pikirkanlah baik-baik,
apakah kau masih pantas
memakan rezeki-Nya dan
tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat
maksiat?” tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak,” ucap
Jahdar kemudian. “Lalu apa
syarat ketiga?” tanya Jahdar
dengan penasaran. “Kalau kau masih bermaksiat kepada
Allah, tetapi masih ingin
memakan rezeki-Nya dan
tinggal di bumi-Nya, maka
carilah tempar bersembunyi
dari-Nya.” Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba
Ishak, nasihat macam apa
semua ini? Mana mungkin
Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah
selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-
Nya, tinggal di bumi-Nya, dan
terus melakukan maksiat
kepada-Nya, pantaskah kau
melakukan semua itu?” tanya
Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan
terkesima. Semua ucapan itu
membuat Jahdar bin Rabi’ah
tidak berkutik dan
membenarkannya. “Baiklah,
ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat
keempat?” “Jika malaikat
maut hendak mencabut
nyawamu, katakanlah
kepadanya bahwa engkau
belum mau mati sebelum bertaubat dan melakukan
amal saleh.” Jahdar
termenung. Tampaknya ia
mulai menyadari semua
perbuatan yang dilakukannya
selama ini. Ia kemudian berkata, “Tidak mungkin…
tidak mungkin semua itu aku
lakukan.” “Wahai hamba
Allah, bila kau tidak sanggup
mengundurkan hari
kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari
murka Allah?” Tanpa banyak
komentar lagi, ia bertanya
syarat yang kelima, yang
merupakan syarat terakhir.
Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi
nasihat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, bila malaikat
Zabaniyah hendak
menggiringmu ke neraka di
hari kiamat nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya
dan menjauhlah!” Lelaki itu
nampaknya tidak sanggup
lagi mendengar nasihatnya. Ia
menangis penuh penyesalan.
Dengan wajah penuh sesal ia berkata, “Cukup…cukup ya
Aba Ishak! Jangan kau
teruskan lagi. Aku tidak
sanggup lagi mendengarnya.
Aku berjanji, mulai saat ini
aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada
Allah.” Jahdar memang
menepati janjinya. Sejak
pertemuannya dengan
Ibrahim bin Adham, ia benar-
benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan
semua perintah-perintah Allah
dengan baik dan khusyu’.
Ibrahim bin Adham yang
sebenarnya adalah seorang
pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa
di salah satu negeri
taklukannya, yaitu negeri
Yamamah, telah terjadi
pembelotan terhadap dirinya.
Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah
gubernur yang dipercayainya
untuk memimpin wilayah
tersebut.
Selanjutny, Ibrahim bin
Adham memanggil Jahdar bin Rabi’ah untuk menghadap.
Setelah ia menghadap,
Ibrahim pun berkata, “Wahai
Jahdar, kini engkau telah
bertaubat. Alangkah
mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan.
Untuk itu, aku ingin
memerintahkan engkau
untuk memberantas
kezaliman yang terjadi di
salah satu wilayah kekuasaanku.” Mendengar
perkataan Ibrahim bin
Adham tersebut Jahdar
menjawab, “Wahai Aba
Ishak, sungguh suatu anugrah
yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang
terbaik untuk umat. Dan
tugas tersebut akan saya
laksanakan dengan segenap
kemampuan yang diberikan
Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan
kezaliman itu terjadi?”
Ibrahim bin Adham
menjawab, “Kezaliman itu
terjadi di Yamamah. Dan jika
engkau dapat memberantasnya, maka aku
akan mengangkat engkau
menjadi gubernur di sana.”
Betapa kagetnya Jahdaar
mendengar keterangan
Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, “Ya
Allah, ini adalah rahmat-Mu
dan sekaligus ujian atas
taubatku. Yamamah adalah
sebuah wilayah yang dulu
sering menjadi sasaran perampokan yang aku
lakukan dengan
gerombolanku. Dan kini aku
datang ke sana untuk
menegakkan keadilan.
Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya.”
Kemudian, berangkatlah
Jahdar bin Rabi’ah ke negeri
Yamamah untuk
melaksanakan tugas mulia
memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan
amanah menegakkan
keadilan. Pada akhirnya ia
berhasil menunaikan tugas
tersebut, serta menjadi hamba
Allah yang taat hingga akhir hayatnya. Semoga kisah
ini memberi inspirasi kepada
kita untuk selalu menebar
kebaikan dan meninggalkan
kemaksiatan. Amiin. Dari
kisah ini juga dapat kita ambil ibrah (pelajaran) bahwa
hidayah itu harus dicari.
Bagimana seorang Jahdar
mendapat hidayah dengan
mencari wasilah (perantara)
yakni dengan memohon nasehat ibrahin bin adham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar