Senin, 12 September 2011

Lubang Hitam Agama ( Laknatullah Alaih )


Resume Buku " LUBANG HITAM AGAMA " (Laknatullah alaih)

          Beberapa buku yang kini tersebar bebas dan secara terang-terangan menyerang kesucian Al-Qur’an, di antaranya berjudul “Lobang Hitam Agama” (2005) karangan Sumanto al-Qurtuby yang secara terbuka mencaci maki Al-Qur’an dan para sahabat Nabi.
o
Di dalam buku ini tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:
  1. “Bahkan sesungguhnya hakikat Al Qur’an bukanlah “teks verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan gumpalan-gumpalan gagasan.” (hal. 42).
  2. “Al-Quran bagi saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh Nabi.” (hal. 42).
  3. “Oleh karena itu, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas Mekkah dan Madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakikatnya adalah “co-author” karena ikut “menciptakan” Al-Qur’an.” (hal. 43).
  4. “Seandainya (sekali lagi seandainya) Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya yakin Pancasila ini bisa menyaingi Al Qur’an dalam hal “keangkerannya” tentunya.” (hal. 64).
  5. “Al-Quran, sehingga menjadi”Kitab Suci” (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas dan peran serta “tangan-tangan gaib” yang bekerja di balik layar maupun diatas panggung politik kekuasaan untuk memapankan status Al-Qur’an. Dengan kata lain, ada proses historis yang amat pelik dalam sejarah pembukuan Al-Qur’an hingga teks ini menjadi sebuah korpus resmi yang diakui secara konsensus oleh semua umat Islam. Proses otorisasi sepanjang masa terhadap Al-Qur’an menjadikan kitab ni sebuah scripto sacra yang disanjung, dihormati, diagungkan, disakralkan dan dimitoskan. Padahal sebagian dan proses otorisasi itu berjalan dan berkelindan dengan persoalan-persoalan politik yang murni milik Bangsa Arab. Bahkan proses turunnya ayat ayat Al-Qur’an sendiri tidak lepas dari “intervensi” Quraisy sebagai suku mayoritas Arab.” (hal. 65)
  6. “Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, Al-Qur’an, dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy).” (hal. 65).
  7. “Kita tahu, Al-Qu’ran yang dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang ini adalah teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman (644-656M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin Zaid bin Tsabit, sehingga teks mi disebut Mushaf Usmani.” (hal. 65).
  8. “Maka, penjelasan mengenai Al-Qur’an sebagai “Firman Allah” sungguh tidak memadai justru dan sudut pandang internal, yakni proses kesejarahan terbentuknya teks Al-Qur’an (dan komunikasi lisan ke komunikasi tulisan) maupun aspek material dari Al Qur’an sendiri yang dipenuhi ambivalensi. Karena itu tidak pada tempatnya, jika ia disebut “Kitab Suci” yang disakralkan, dimitoskan.” (hal. 66)
  9. “Dalarn konteks ini, anggapan bahwa Al-Qur’an itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada Al-Qur’an (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” — pseudo sacra –. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.” (hal. 67).
  10. ”Setiap teks merniliki keterbatasan sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul “agen-agen sejarah” yang merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad, Sidharta, Lao Tze, Konfusius, Zarasthutra, Martin Luther, dan lainnya adalah sebagian kecil dan contoh agen-agen sejarah yang melakukan restorasi teks. Tapi produk restorasi teks yang mereka lakukan bukanlah sebuah “resep universal’ yang shalih likulli zaman wa makaan (kompatibel di setiap waktu dan ruang) Mereka tidak hadir diruang hampa, mereka datang di tengah-tengah kehidupan manusia yang beragam dengan cita rasa yang berlainan pula. Jika mereka sudah melakukan restorasi teks atas teks sebelumnya, maka generasi pasca mereka mestinya melakukan hal yang sama dengan apa yang telah mereka lakukan: restorasi teks. Berpegang teguh secara utuh terhadap sebuah teks sama saja dengan berpegangan barang rongsokan yang sudah usang.” (hal. 70-7 1).
Begitulah tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku yang terbit di Yogyakarta tersebut. Ajaibnya, buku seperti ni mendapat pujian berbagai tokoh. Dr. Moeslim Abdurrahman, menulis bahwa buku ini, “perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin ber-taqarrub untuk mencari kebenaran.”
Ahmad Tohari, budayawan, penulis kolom resonansi di Harian Republika, juga menulis, “Buku ini menawarkan ruang luas bagi pemahaman agama yang manusiawi karena asas pluralisme yang diusungnya.” Penulis buku ini juga disebut dibagian awal buku sebagai ‘pemikir muda Indonesia “paling menonjol” saat ini, terutama dalam bidang sosiologi agama. Dalam pengantar buku, seorang Direktur Freedom Institute, rnenyebutkan, bahwa buku ini perlu diapresiasi dan disambut dengan baik. Tentu saja, kita patut mengapresiasi dan menyambut baik semua karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi, yang didukung dengan data-data yang baik dan jujur.


Oleh irman ahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar